Hidup di negeri orang menuntut banyak penyesuaian: mulai dari cuaca yang bikin kulit kaget, makanan yang terasa “mana bumbunya?”, sampai bahasa asing yang kadang bikin lidah keseleo. Namun di tengah segala adaptasi itu, ada satu hal yang sering tetap terjaga, logat asli dan bahasa Indonesia.
Bagi mereka yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeri namun masih mempertahankan cara bicara khas daerah, satu kata: respect.
Medok Bukan Kekurangan, Tapi Kekuatan
Tinggal di luar negeri kerap membuat sebagian orang merasa perlu “membaur” agar terlihat seperti warga lokal. Nyatanya, banyak diaspora Indonesia justru bangga mempertahankan bahasa ibu dan logat khasnya. Entah itu logat Jawa, Batak, Manado, atau Makassar, semuanya adalah identitas yang membuat mereka berbeda dan unik.
Di tengah aksen British, Aussie, atau French yang halus, suara lantang penuh karakter seperti,
“Mbak, iki regone piro?”
langsung mencuri perhatian dan menjadi ikonik.
Bahasa Adalah Rumah, Meski Paspor Sudah Berganti
Bagi banyak diaspora, bahasa Indonesia adalah pengikat jiwa. Tidak peduli sudah memegang PR, green card, atau bahkan paspor negara lain—saat rindu rumah, bahasa Indonesia adalah tempat kembali.
Lagi masak di dapur? “Duh, garamnya di mana sih!”
Chat dengan teman dari Indonesia? “Bro, udah makan belum?”
Lagi kesal? “Gini amat hidup di negeri orang!”
Meski sehari-hari berbicara Inggris, Jepang, atau Prancis, begitu bertemu sesama orang Indonesia, seolah tombol “bahasa asli” langsung aktif.
Medok Adalah Keaslian
Ada anggapan bahwa tinggal di luar negeri berarti harus “menyesuaikan” gaya bicara. Padahal, logat medok bukan kekurangan, itu tanda kejujuran identitas.
Bayangkan di tengah hiruk pikuk Tokyo atau New York, terdengar suara akrab:
“Woi, ayo ngopi. Aku wes kangen karo kopi sachetan.”
Bukan hal memalukan justru autentik, khas, dan membanggakan. Seiring waktu, kita akan menyadari bahwa menjadi diri sendiri jauh lebih kuat daripada berusaha sepenuhnya blend in.
Berbahasa Indonesia = Melestarikan Budaya
Berbicara dalam bahasa Indonesia bersama anak, teman, atau komunitas diaspora bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga pelestarian budaya. Banyak anak diaspora yang fasih dua bahasa karena orang tuanya konsisten mengenalkan bahasa Indonesia di rumah.
Betapa bangganya mendengar anak berkata: “Aku lapar, Ibu. Mau nasi goreng.”
Di era global, kemampuan berbahasa lebih dari satu bahasa adalah aset berharga dan bahasa Indonesia pantas terus diajarkan, digunakan, serta dibanggakan.
Tetap Medok, Tetap Indonesia
Logat medok adalah bagian dari jati diri. Bahasa Indonesia adalah akar budaya. Dan Anda para diaspora adalah bukti bahwa jarak tidak memutuskan identitas.
Tidak perlu gengsi jika di tengah percakapan bahasa Inggris tiba-tiba logat lokal muncul. Itu bukan kesalahan itu adalah Anda yang sebenarnya. Dan itu keren.
Salut untuk diaspora yang tetap medok. Teruslah berbicara dengan bahasamu. Karena di dunia yang semakin global, menjadi autentik justru menjadi nilai yang paling berharga.