Ketika berbicara tentang diaspora Indonesia, cerita yang kerap kita dengar biasanya seputar kesuksesan bisnis di luar negeri, karier di perusahaan global, atau menjadi chef ternama di kota internasional. Namun, ada satu sisi yang jarang mendapat sorotan: peran politik diaspora.
Bukan berarti terjun langsung menjadi politisi, melainkan kontribusi nyata dalam menguatkan demokrasi, memengaruhi kebijakan, dan menjaga semangat kebangsaan meskipun berada ribuan kilometer dari tanah air.
Politik Tak Selalu Soal Kursi Parlemen
Banyak yang mengira politik hanya berkaitan dengan partai, kampanye, atau perebutan kursi kekuasaan. Padahal, politik dimulai dari partisipasi dan kesadaran sederhana, seperti:
- Mengikuti pemilu dari luar negeri.
- Mengadvokasi isu-isu yang dihadapi diaspora.
- Menjadi penghubung antara komunitas luar negeri dan Indonesia.
- Menyuarakan hak-hak WNI di luar negeri.
- Menjaga citra positif Indonesia di forum internasional.
Semua ini adalah wujud nyata politik. Banyak diaspora sudah melakukannya, meski jarang diakui secara luas.
Mereka Memilih Jauh, Tapi Tetap Peduli
Setiap pemilu, jutaan WNI di luar negeri menggunakan hak pilih mereka melalui pos, KBRI, atau TPS luar negeri. Namun, seberapa besar suara mereka benar-benar dipandang strategis?
Padahal, diaspora memiliki perspektif unik: melihat Indonesia dari luar, membandingkan sistem, mempelajari model yang lebih baik, dan membawa inspirasi tersebut pulang. Yang mereka butuhkan hanya satu hal, dianggap sebagai bagian dari proses perubahan, bukan sekadar penonton dari kejauhan.
Akses, Ilmu, dan Jaringan yang Bernilai
Tidak sedikit diaspora Indonesia yang bekerja di lembaga riset internasional, organisasi HAM, startup politik digital, atau institusi global lainnya. Mereka memiliki modal yang berharga:
- Akses ke jaringan global
- Pemahaman tentang sistem politik maju
- Kemampuan komunikasi lintas budaya
- Dan yang terpenting, niat tulus untuk berkontribusi.
Sayangnya, kontribusi ini sering terabaikan hanya karena mereka dianggap “bukan bagian dari dalam negeri.” Padahal justru karena berada di luar, mereka dapat melihat permasalahan dengan perspektif yang lebih segar.
Terlalu Jauh Untuk Didengar?
Banyak diaspora mengaku pernah merasa suaranya tidak relevan.
“Kalau saya bicara soal pendidikan atau hukum, orang bilang, ‘Kamu kan di luar. Nggak merasakan susahnya di sini.’”
Padahal, yang mereka lakukan bukan menggurui, melainkan menawarkan sudut pandang dari luar pagar. Seperti rumah, penghuni mungkin tidak sadar atapnya bocor, tapi orang di luar bisa melihat jelas.
Saatnya Mendengar Suara dari Jauh
Jika ingin membangun negeri secara inklusif, suara diaspora harus menjadi bagian dari percakapan besar. Bukan hanya saat pemilu lima tahunan, tetapi juga dalam diskusi masa depan:
- Pendidikan yang adaptif.
- Digitalisasi birokrasi.
- Diplomasi budaya.
- Perlindungan WNI di luar negeri.
Banyak diaspora ingin pulang dan berkontribusi, asalkan negeri siap membuka ruang bagi mereka.
Jauh Bukan Berarti Tidak Terlibat
Diaspora Indonesia mungkin hidup di zona waktu yang berbeda, namun semangat mereka untuk membangun negeri tetap seirama. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar hak pilih mereka perlu ruang untuk didengar.
Jika selama ini peran politik diaspora terabaikan, mungkin sudah saatnya kita menoleh keluar dan membuka pintu lebih lebar bagi mereka yang selama ini membangun negeri… dari jauh.